Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa
PERNYATAAN Menko Hukum, Perpindahan Penduduk, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra tentang revisi Perundang-Undangan Tipikor merupakan sinyal kedaruratan pemberatasan Kejahatan Keuangan Ke negeri ini. Kedaruratan ini dipicu Dari 3 (tiga) masalah.
Pertama, norma Syarat pidana Pasal 2 dan Pasal 3 Perundang-Undangan Komisi Pemberantasan Kejahatan Keuangan (KPK) yang tidak berkepastian hukum Justru terjadi Ke Mahkamah Agung (MA) sendiri. Kedua, tafsir hukum tentang unsur tindak pidana Kejahatan Keuangan (tipikor) baik mengenai mens rea dan actus reus Ke satu sisi dan kerugian keuangan Negeri atau perekonomian Negeri Ke sisi lain yang berbeda-beda. Ketiga, kedudukan KPK sebagai “state auxillary organ” yang independen ditempatkan Di rumpun kekuasaan eksekutif menjadi dilematis dan penyebab keraguan pimpinan KPK Di melaksanakan tugas dan wewenangnya sekalipun telah ditentukan Di Perundang-Undangan KPK 2019 bahwa KPK adalah lembaga independen tidak dapat dipengaruhi Dari kekuasaan mana pun.
Penempatan KPK Ke bawah rumpun kekuasaan eksekutif Ke satu sisi dan penentapan KPK sebagai lembaga independen Menunjukkan adanya contradictio in terminis yang mengakibatkan Syarat Perundang-Undangan KPK dapat dinyatakan cacat hukum. Merujuk Ke masalah pertama sampai Di ketiga Ke atas telah terbukti banyak Perkara Pidana Kejahatan Keuangan yang telah memperoleh putusan berkekuatan hukum tetap diragukan kebenaran materielnya. Begitu pula masalah kepastian dan keadilan Di perkaranya yang telah mencederai perlindungan hak asasi Individu Terduga dan terdakwa.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka keperluan melakukan revisi Perundang-Undangan Tipikor sangat mendesak disebabkan. Selain tidak berhasil secara efektif dan optimal penegakan hukum Di pemberantasan Kejahatan Keuangan, penerapan Perundang-Undangan Tipikor telah jauh menyimpang Di maksud dan tujuan pembentuk Perundang-Undangan Tipikor sedari awal penyusunannya.
Penyimpangan implementasi Perundang-Undangan Tipikor disebabkan beberapa hal. Aparatur hukum belum menguasai dan memahami sepenuhnya aspek filosofi, visi, dan misi Ke balik eksistensi Perundang-Undangan Tipikor dan perubahannya Ke tahun 1999 Lalu tahun 2001, serta tidak memperoleh petunjuk yang benar Di para ahli Aturan Pidana yang justru tidak mengikuti proses penyusunan Perundang-Undangan Tipikor Sebelum awal dan Lalu menggunakan penafsiran sendiri-sendiri tanpa Merencanakan lima metoda penafsiran hukum yang telah diajarkan Sebelum semester tiga Ke fakultas hukum.
Kelemahan yang sangat fatal adalah implementasi Perundang-Undangan Lembaga Proses Hukum Tipikor Nomor 46 Tahun 2009 yang sengaja dibentuk sebagai kanalisasi Perkara Pidana-Perkara Pidana tipikor ditangani Dari hakim-hakim yang memperoleh pelatihan dan Pembelajaran khusus mengenai masalah dan seluk-beluk Kejahatan Keuangan termasuk peraturan perundangan yang Yang Berhubungan Di Di Kejahatan Keuangan. Kekeliruan yang nyata dan kekhilafan hakim tipikor Di praktik adalah telah mengabaikan eksistensi berlakunya Syarat Pasal 14 yang juga merupakan salah satu wewenang Lembaga Proses Hukum tipikor sesuai Syarat Pasal 6 Perundang-Undangan Nomor 46 Tahun 2009 yang Berkata secara expressive verbis bahwa Lembaga Proses Hukum tipikor tidak berwenang memeriksa dan mengadili Perkara Pidana Pelanggar Perundang-Undangan lain selain Perundang-Undangan Tipikor, yang tidak disebut secara tegas sebagai tipikor. Kajian penulis, Syarat yang menyebutkan bahwa Pelanggar Perundang-Undangan Tata Cara Perpajakan Pasal 36 A menyebutkan bahwa Pelanggar Syarat Pasal aquo dikenakan ancaman Pasal 12 e Perundang-Undangan Tipikor.
Kelemahan-kelemahan sebagaimana diuraikan mengakibatkan proses Proses Hukum yang tidak jujur dan adil (unfair trial and injustices) perlakuan hukum penerapan Perundang-Undangan Tipikor Pada Individu Terduga/terdakwa yang sejatinya tidak bersalah, Supaya menanggung beban hukuman fisik dan perampasan harta kekayaannya yang justru berasal Di penghasilan yang sah. Sekalipun Di Perundang-Undangan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dipastikan tidaklah mudah memisahkan harta kekayaan terdakwa yang berasal Di kejahatan/Kejahatan Keuangan dan mana yang bukan berasal Di kejahatan/Kejahatan Keuangan manakala harta kekayaan hasil kejahatan/Kejahatan Keuangan telah bercampur (intermingle) Di harta kekayaan yang diperoleh secara sah, apalagi telah terjadi lebih Di lima tahun yang lalu.
Ke sinilah letak kelemahan fungsi penelusuruan uang hasil kejahatan Dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Lantaran juga disebabkan ketiadaan big-data mengenai penghasilan yang sah Di lebih Di 400 pejabat Negeri yang tergabung Di pemerintahan yang wajib mengisi dan melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negeri (LHKPN) kepada KPK.
Artikel ini disadur –> Sindonews Indonesia News: Revisi Perundang-Undangan Tipikor Ke Di Indonesia Darurat Kejahatan Keuangan