Pengamat Keputusan publik menyoroti beberapa kekhawatiran soal iuran Tapera yang Terbaru-Terbaru ini diresmikan pemerintah Lewat PP Nomor 21 Tahun 2024. Foto/Dok
Kekhawatiran utama terletak Di besaran iuran Tapera yang mencapai 2,5% Bersama gaji pekerja, Justru Untuk yang telah Memiliki Tempattinggal. Menurut pengamat Keputusan publik Bersama Nusantara Foundation, Imam Rozikin, Keputusan ini tentu memberatkan pekerja Bersama penghasilan minimum, pemotongan ini dikhawatirkan Berencana Lebih mempersempit ruang fiskal mereka.
“Bisa kita bayangkan, Sebelumnya ada Tapera, gaji pekerja yang setara UMR (upah minimum regional) telah dipotong Untuk iuran BPJS. Belum lagi ketika Komunitas spending, Berencana ada Ppn pertambahan nilai. Keputusan Tapera ini dinilai perlu dikonfigurasi ulang, khususnya bagaimana memastikan Keputusan itu rasional dan sesuai kebutuhan,” ungkap Imam.
Di Itu, skema Tapera yang bersifat wajib juga menuai Penilaian. Imam Rozikin berpendapat bahwa partisipasi Di Inisiatif ini seharusnya bersifat sukarela, mengingat Situasi keuangan Komunitas yang beragam.
“Sebelumnya membuat Keputusan, pemerintah diharuskan memikirkan proses partisipasi secara konkret. Yang pertama kali perlu dilakukan adalah pemetaan kebutuhan riil Komunitas. Setelahnya Itu, apakah Komunitas setuju opsi Yang Berhubungan Bersama perumahan difasilitasi Bersama Bangsa. Terbaru Setelahnya Itu Setelahnya itu formulasi Keputusan yang berbasiskan Pancasila, atau gotong-royong,” Yang Berhubungan Bersama
Kekhawatiran lainnya adalah Yang Berhubungan Bersama pengelolaan dana Tapera. Belum ada kejelasan yang memadai mengenai mekanisme Penanaman Modal Di Negeri dan imbal hasil yang Berencana diterima Bersama peserta. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa dana Tapera Berencana disalahgunakan atau tidak dikelola secara optimal.
“Kekhawatiran publik Yang Berhubungan Bersama pengelolaan dana itu beralasan. Sebab, Bersama refleksi Tindak Kejahatan-Tindak Kejahatan Penyuapan yang terjadi Di 2 dekade terakhir, banyak Tindak Kejahatan Penyuapan yang berkaitan Bersama skema yang serupa. Belum lagi nanti pegawai-pegawainya yang Mungkin Saja saja flexing seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Saya rasa ini berbahaya dan cukup melenceng Bersama falsafah Pancasila. Kita itu hidup bernegara Untuk Di-lamanya, bukan hanya Untuk sewindu atau dua windu saja,” jelas Imam.
Imam Rozikin menyarankan, pemerintah Untuk meninjau kembali Keputusan Tapera dan Merencanakan masukan Bersama berbagai pihak. Termasuk salah satunya mengulas Yang Berhubungan Bersama aspek partisipasi.
“Berdasarkan Studi saya, format Keputusan yang tepat itu diiringi Bersama narasi yang diinisiasi publik Lewat partisipasi secara bottom-up. Kalau Untuk Pada ini, bagaimana pemerintah membangun narasi yang positif ketika Komunitas saja tidak dilibatkan Di berbagai proses Keputusan publik? Supaya, saya kurang sepaham jika ada yang menyebut bahwa ini persoalan kurang sosialisasi saja,” bebernya.
Imam menambahkan, Keputusan ini menjadi indikasi bahwa proses analisis Keputusan publik tidak berjalan semestinya Di level kementerian.
“Saya khawatir Bersama posisi Pancasila Di pemerintahan, letaknya Di mana? Apa pengenaan Ppn ini bisa disebut Keputusan yang Pancasilais? Di Itu, saya cukup khawatir gaung negatif yang Pada ini muncul Di media sosial itu Berencana termanifestasikan Di lapangan, yang tentunya dapat mengganggu stabilitas situasi jelang Pemungutan Suara Kepala Daerah Serentak Serentak dan iklim kondusif Di Komunitas,” pungkasnya.
Artikel ini disadur –> Sindonews Indonesia News: Tapera Diminta Ditinjau Kembali, Begini Saran Para Pengamat